Adapun Nusantara ini diasasi berkah da’wah para Wali dan Sultan Demak.
Inilah kesultanan yang mampu mengerahkan 300 kapal untuk berjihad
melawan Portugis di Malaka; tapi bahkan sisa istananya tak ditemukan.
Sebab, demikian menurut sebagian sejarawan, Sultannya amat bersahaja,
hingga tempat tinggalnya pun tak jauh beda dengan rakyatnya. Ia menjadi
kontras dengan Majapahit yang sudah lemah dan remuk oleh paregreg serta
kesewenang-wenangan, tapi tetap bermewah-megah para penguasanya.
Para Sultan inipun tunduk pada Majelis Syuraa para ‘Ulama di
Masjidnya. Mereka, dengan gelar “Sunan” di depan nama, menjadi pelanjut
dari generasi dakwah sebelumnya yang penuh hikmah. Dan sahibul hikayat
berkisah, sejak catatan kelana Ibn Batuththah “Ar Rihlah” dihadiahkan
Sultan Maroko kepada Muhammad I dari Daulah ‘Utsmaniyah di Turki, dengan
penuh semangat sang Sultan-Ghazi mengirimkan da’i-da’i tangguh ke
kepulauan ini.
Sebagai gambaran tentang betapa terrencana dan rapinya kerja tim Futuhat ini dalam merancang syi’ar dakwah Nusantara, sebuah Kropak
rangkaian lontara yang tersimpan di Ferrara, Italia, ternyata mencatat
isi rapat para Wali itu dan merangkum pengajaran-pengajaran yang mereka
sepakati dalam mendakwahi masyarakat Jawa saat itu. Jauh sebelum itu, Het Boek van Bonang
telah menjadi rujukan para sejarawan untuk melacak strategi dakwah yang
dahsyat dari tim yang masyhur dikenal sebagai Wali Sanga ini.
Dahsyat, sebab, betapapun mereka belum sempurna menunaikan tugas
dakwahnya, dan siapakah memangnya yang sempurna dalam dakwah selain
Rasulullah; tapi hingga hari ini, belum ada lagi satu tim beranggotakan
hanya beberapa mu’allim yang dalam waktu kurang dari 50 tahun atas izin
Allah mampu menjadikan sebuah kerajaan besar yang tegak dengan Hindu dan
Budha sebagai agama resmi, nyaris semua penduduk jazirah intinya
bersyahadat. Belum lagi nantinya kita melihat, bagaimana pusat
pendidikan mereka di Ampel, Giri, Kadilangu, Kudus, dan Cirebon
mendidik para calon ‘Ulama dan Sultan untuk Banten, Banjar, Mataram,
Gowa, Ternate, Tidore, Bima, hingga Palembang.
Menyimak bagaimana misalnya Maulana Malik Ibrahim yang ahli irigasi
dan persawahan menjawab persoalan pangan; bagaimana Maulana Maghribi I
yang ahli ruqyah mengalahkan para dukun, klenik, tempat angker, dan
sihir; bagaimana Maulana Ahmad Jumadil Kubra mendakwahi para penduduk
gunung yang dikeramatkan; bagaimana Maulana ‘Aliyuddin dan Taqiyyuddin
menekuni pengajaran di pelabuhan-pelabuhan; bagaimana Maulana ‘Ali
Rahmatullah mendirikan sekolah kasatriyan di Ampeldenta untuk mengatasi
krisis ketatanegaraan Majapahit; bagaimana Sunan Ngudung dan Maulana
Ja’far Ash Shadiq menjawab persoalan strategi perang dan keprajuritan;
hingga bagaimana Sunan Kalijaga menggubah budaya Islami untuk
memassifkan tabligh; kita semakin takjub tentang bagaimana tim ini
bekerja.
Maka inilah hutang besar kita, pada bangsa kita sendiri maupun dunia, sebuah syi’ar dakwah Nusantara.
Hutang terhadap diri sendiri sebab hari-hari ini kita berada di masa
maraknya syi’ar namun sering tak terpimpin, tanpa arah, dan tak jelas
hendak menuju mana dan meraih capaian apa; hingga kitapun susah
menyebutnya “dakwah” apatah lagi “Futuhat”. Tak usah sejauh itupun,
sejak kemerdekaan Republik Indonesia beberapa sensus telah digelar, dan
prosentase jumlah ummat Islam terus menurun.
Litbang Kementerian Agama juga pernah merilis data, bahwa antara
tahun 1970-an hingga 1990-an awal, buku-buku yang terbit di kalangan
ummat Islam didominasi wacana Islamisasi pengetahuan, ekonomi Islam,
hingga Politik Islam. Maka kitapun memanennya di akhir periode itu
dengan tumbuhnya Ikatan Cendikiawan Muslim, ekonomi syari’ah, perbankan
syari’ah, hingga kesadaran politik Islam.
Sebaliknya, antara tahun 1990-an akhir hingga hari ini, buku yang terbit kebanyakannya kembali mempertajam sisi-sisi khilafiyah furu’iyyah
di kalangan ummat, antar ormas Islam, organisasi dakwah, dan antar
harakah. Detail sekali peruncingan perbedaan itu hingga kitapun kembali
memanennya dalam bentuk sensitifnya lagi soal-soal yang sebenarnya
bertahun lalu telah diredam oleh para ‘Ulama dan Zu’ama dengan amat
bijak.
Maka kalau hari ini dalam bingkai Islam Nusantara, tawassuth didengungkan dengan eksklusif seakan hanya kelompok kita yang moderat, tawazun didalilkan dengan jumawa seakan hanya kelompok kita yang seimbang, i’tidal dilanggamkan dengan nyaring seakan hanya kelompok kita yang tegak lurus, dan tasamuh didendangkan
dengan nada tinggi seakan hanya kelompok kita yang toleran; kita justru
sungguh khawatir ada bias terhadap syi’ar dakwah Nusantara yang
menyentuh hati, merangkul, melayani, menyatukan, dan memberdayakan.
Belum lagi hutang kita pada Sultan Muhammad I yang mengirim
da’i-da’inya ribuan mil, juga hutang kita pada para ‘ulama yang menempuh
perjalanan jauh dan berbahaya, dan ukhuwah Islamiyah Mesir hingga
Palestina yang diunjukkan penuh bangga mendukung kemerdekaan Indonesia.
Seperti kaidah “Pay It Forward”, kita tertuntut pula
membayarnya dengan membawa syi’ar dakwah Nusantara ini pada Eropa,
Amerika, Australia, hingga Cina. Bahwa hari-hari ini, komunitas muslim
Nusantara di berbagai negeri kian menunjukkan peran dakwah mereka
bersama saudara-saudaranya dari berbagai bangsa, semoga ianya bagian
dari kabar gembira untuk masa depan.
Sebagai penutup, izinkan kami menyampaikan sebuah kisah.
Suatu saat kami sedang duduk di Masjid Jogokariyan, di hadirat Syaikh
Dr. Abu Bakr Al ‘Awawidah, Wakil Ketua Rabithah ‘Ulama Palestina. Kami
katakan pada beliau, “Ya Syaikh, berbagai telaah menyatakan bahwa
persoalan Palestina ini takkan selesai sampai bangsa ‘Arab bersatu.
Bagaimana pendapat Anda?”Beliau tersenyum. “Tidak begitu ya Ukhayya“,
ujarnya lembut. “Sesungguhnya Allah memilih untuk menjayakan agamanya
ini sesiapa yang dipilihNya di antara hambaNya; Dia genapkan untuk
mereka syarat-syaratnya, lalu Dia muliakan mereka dengan agama dan
kejayaan itu.”
“Pada kurun awal”, lanjut beliau, “Allah memilih Bangsa ‘Arab.
Dipimpin Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, dan beberapa penguasa Daulah
‘Umawiyah, agama ini jaya. Lalu ketika para penguasa Daulah itu beserta
para punggawanya menyimpang, Allahpun mencabut amanah penjayaan itu dari
mereka.”
“Di masa berikutnya, Allah memilih bangsa Persia. Dari arah Khurasan
mereka datang menyokong Daulah ‘Abbasiyah. Maka penyangga utama Daulah
ini, dari Perdana Menterinya, keluarga Al Baramikah, hingga panglima,
bahkan banyak ‘Ulama dan Cendikiawannya Allah bangkitkan dari kalangan
orang Persia.”
“Lalu ketika Bangsa Persia berpaling dan menyimpang, Allah cabut
amanah itu dari mereka; Allah berikan pada orang-orang Kurdi; puncaknya
Shalahuddin Al Ayyubi dan anak-anaknya.”
“Ketika mereka juga berpaling, Allah alihkan amanah itu pada
bekas-bekas budak dari Asia Tengah yang disultankan di Mesir; Quthuz,
Baybars, Qalawun di antaranya. Mereka, orang-orang Mamluk.”
“Ketika para Mamalik ini berpaling, Allah pula memindahkan amanah itu
pada Bangsa Turki; ‘Utsman Orthughrul dan anak turunnya, serta
khususnya Muhammad Al Fatih.”
“Ketika Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah ini berpaling juga, Allah cabut
amanah itu dan rasa-rasanya, hingga hari ini, Allah belum menunjuk
bangsa lain lagi untuk memimpin penjayaan Islam ini.”
Beliau menghela nafas panjang, kemudian tersenyum. Dengan matanya
yang buta oleh siksaan penjara Israel, dia arahkan wajahnya pada kami
lalu berkata. “Sungguh di antara bangsa-bangsa besar yang menerima
Islam, bangsa kalianlah; yang agak pendek, berkulit kecoklatan, lagi
berhidung pesek”, katanya sedikit tertawa, “Yang belum pernah ditunjuk
Allah untuk memimpin penzhahiran agamanya ini.”
“Dan bukankah Rasulullah bersabda bahwa pembawa kejayaan akhir zaman
akan datang dari arah Timur dengan bendera-bendera hitam mereka? Dulu
para ‘Ulama mengiranya Khurasan, dan Daulah ‘Abbasiyah sudah menggunakan
pemaknaan itu dalam kampanye mereka menggulingkan Daulah ‘Umawiyah.
Tapi kini kita tahu; dunia Islam ini membentang dari Maghrib; dari
Maroko, sampai Merauke”, ujar beliau terkekeh.
“Maka sungguh aku berharap, yang dimaksud oleh Rasulullah
itu adalah kalian, wahai bangsa Muslim Nusantara. Hari ini, tugas
kalian adalah menggenapi syarat-syarat agar layak ditunjuk Allah
memimpin peradaban Islam.”
“Ah, aku sudah melihat tanda-tandanya. Tapi barangkali kami, para
pejuang Palestina masih harus bersabar sejenak berjuang di garis depan.
Bersabar menanti kalian layak memimpin. Bersabar menanti kalian datang.
Bersabar hingga kita bersama shalat di Masjidil Aqsha yang merdeka
insyaallah.”
*oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 13/07/2015