“Ikan itu milik Tuhan!” nelayan itu berteriak parau,
suaranya bak memebelah lautan. Tak lagi ia pedulikan matahari yang membakar
kulit legamnya. Rahangnya mengeras menahan geram kehidupannya yang seperti
pekatnya garam di lautan.
Nelayan itu bernama Rizki, ia tengah kesal karena belakangan
ini hasil tangkapnya tak mencukupi lambung anak dan isterinya.
Tatapannya
kosong memandang laut yang tak lagi bershabat. Hidupnya lebih keras dari
karang, gelombang ombak tinggi yang ia hadapi hampir setiap malam, nyawa
taruhannya.
Dulu jarak dua mil itu sudah memenuhi perahu kami, tapi
karena adanya reklamasi ikannya otomatis kabur ke daerah yang lebih bersih. Sekarang
kami harus melaut sejauh lima mil, ombak diatas empat meter dengan perahu
kecil, belum lagi bahan bakar yang tidak murah bagi kalangan kami.
Peraturan daerah kota
Bandar Lampung no 10 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah kota bandar
lampung semakin mencekik kehidupan nelayan. Tanah sepetak yang begitu berharga
bagi mereka tingggal menunggu waktu untuk dicabut dari tampat pesemayamannya.
“Kita memang tidak memiliki surat tanah. Kita engga
pernah sanggup bayarnya, sudah bisa makan tiga kali sehari aja
Alhamdulillah,” tandasnya.
Akibat reklamasi ini, ikan bermigrasi ke daerah cagar alam,
sedangkan kami tidak boleh melaut ke daerah itu. Pernah salah satu anggota
kelompok kami melanggar batas melaut karena terdorong ombak, tapi petugas
patroli engga mau tau, langsung menangkap dan main hakim sendiri. Kawan
kami dijejali ikan mentah sampai keluar seluruh isi lambungnya, serangan fisik
tak selesai sampai disitu, lebam-lebam di sekujur tubuhnya menjadi saksi bisu
kehidupan nelayan yang semakin keruh.
Pihak bank swasta pun seolah ikut memusuhi kami, untuk modal
melaut pun kami kesulitan. Motor yang senilai 20juta boleh jadi jaminan, tapi
kapal kami yang nilainya lebih dari 200juta tidak bernilai di mata bank.
Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 2
Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat pukat seperti menenggelamkan para
nelayan kecil.
Harus dengan apalagi kami harus mempertahankan helaan napas
kami.