Oleh
M. IMRON ROSADI
Pemimpin negara dan daerah yang kebijakannya tidak
pro rakyat, tak jelas arah dan perencanaan dalam membangun negara dan daerah
yang dipimpinnya itu wajib dikritisi.
Pemimpin organisasi dan lembaga yang programnya
belum mampu menumbuhkan potensi anggotanya, tak jelas pula arah dan perencanaan
dalam mengembangkan organisasi atau lembaga yang dipimpinnya itu juga wajib
dikritisi.
Namun, kita sebagai rakyat atau masyarakat yang
dipimpin, berikhtiar untuk beradaptasi, meningkatkan kemampuan untuk perbaikan
hidup, itu juga wajib kita lakukan agar mampu menyesuaikan diri. Kita sebagai
anggota organisasi atau lembaga yang ada, berikhtiar untuk tetap berada dalam
satu barisan, meningkatkan kompetensi dan mentalitas diri, itupun wajib kita
lakukan agar mampu memperbaiki arah dan tujuan dari organisasi
Kalimat-kalimat diatas, saya rangkum dari berbagai kegiatan
diskusi dan obrolan santai dengan beberapa teman beberapa waktu yang lalu.
Menarik untuk kita dalami, memasuki pertengahan
1998, Indonesia memasuki era baru yang diberi label reformasi dan demokrasi. Orang menyebutnya juga dengan era perbaikan
keterbukaan. Dimulainya orde reformasi dilatarbelakangi oleh kondisi krisis
finansial di negara-negara Asia
sehinggga menyebabkan ekonomi Indonesia melemah, ditambah
dengan semakin kuat dan besarnya arus ketidak puasan masyarakat Indonesia
terhadap pemerintahan Soeharto. Puncaknya, terjadilah demonstrasi besar-besaran
yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah
Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998
sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di
bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya
memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Presiden Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Di orde reformasi, keran kebebasan berpendapat,
berdialektika, kompetisi gagasan dan program dibuka seluas-luasnya. Bahkan di
era ini rakyat di ibukota sampai dipelosok negeri disuguhkan dengan berbagai
perhelatan pesta demokrasi dari mulai pemilu legislatif, sampai pemilihan
kepala daerah.
Diera ini pula, kritik rakyat kepada penyelenggara
negara, kemudian keterbukaan informasi dilindungi oleh undang-undang. Setiap
warga negara diberi hak yang sama dalam hal memberikan koreksi atas kebijakan,
program kepala daerah maupun kepala negara yang tidak pro kepada rakyat.
Kritik rakyat kepada pemimpin negara maupun daerah,
kritik karyawan kepada pimpinan perusahaa, kritik anggota kepada pemimpin
organisasi, sejatinya merupakan proses tanggapan, komunikasi dan sinergi
atas sebuah kebijakan yang diambil.
Negara,
daerah serta organisasi yang ingin berkembang serta maju tentunya membutuhkan
kritik. Dengan kritik pemegang kebijakan akan tahu dimana letak
ketidaksesuaian. Sehingga perbaikan-perbaikan akan dengan mudah dilakukan serta
tepat sasaran.
Bila kita membaca sejarah kepemimpinan dalam Islam,
ada sebuah kisah menarik di jaman kekhalifahan yang dapat kita ambil hikmahnya. Saat itu, Sepeninggal Abu Bakar, ketika Umar
dilantik jadi khalifah, Ia justru menangis. Orang-orang pun bertanya, “Wahai
Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis menerima jabatan ini?”
“Aku ini keras, banyak orang yang takut padaku.
Kalau aku nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan?”
Tiba-tiba, muncullah seorang Arab Badui dengan menghunus
pedangnya, seraya berkata, “Aku, akulah yang mengingatkanmu dengan pedang ini.”
“Alhamdulillah,” puji Umar pada Ilahi, karena masih
ada orang yang mau dan berani mengingatkannya bila ia melakukan kesalahan.
Kisah tersebut sarat makna. Bagaimana tidak, seorang
arab badui yang diidentikan kala itu sebagai masyarakat kelas bawah, atau bila
dikaitkan dengan sebuah organisasi merupakan anggota level bawah, berani memberikan
pernyataan bahwa siap bersinergi dengan khalifah saat itu dan siap menegurnya jika
khalifah melakukan penyimpangan.
Dalam sejarah para sahabat nabi, sosok Umar dikenal
sebagai pribadi yang kuat, cerdas, berani, dan tegas. Sosok inilah yang
terang-terangan menantang kaum musyrikin di Mekkah yang ingin mencegah beliau
ketika hendak hijrah ke Madinah. Dan ternyata tidak ada satupun kaum musyrikin
yang berani mencegah beliau. Bahkan syetan pun takut dan menyingkir dari
jalanan bila Umar akan lewat jalanan tersebut.
Subhanallah, sosok pemimpin yang istimewa.
Berkarakter, berwibawa, disegani, namun tidak anti kritik. Bahkan menangis,
takut bila tidak ada rakyatnya yang berani mengingatkannya bila beliau salah.
Bagi rakyat, mereka membutuhkan sosok pemimpin yang
jujur. pemimpin yang perkataannya selaras dengan perbuatanya. Pemimpin yang memiliki
mentalitas dan pengetahuan yang mumpuni untuk menyelesaikan segala problematika
yang ada.
Bagi anggota organisasi, mereka tentu mengharapkan
memiliki pemimpin yang visioner, cerdas dan komunikatif. Agar mampu membawa
organisasi yang dipimpinnya berkembang dan tentunya yang terpenting adalah
kebermanfaatan organisasi tersebut semakin dirasakan oleh masyarakat banyak.
Hari ini diera keterbukaan informasi, sangat aneh
dan tidak masuk akal bila kita masih menemukan pemimpin negara maupun daerah
yang anti kritik. Padahal jelas Undang-undang melindungi hal tersebut.
Hari ini pun kita akan tertawa geli, bila masih
menemukan pemimpin organisasi yang anti kritik. Lah
mau dibawa kemana organisasinya, bila pemimpinnya masih memiliki mentalitas
seperti itu.
Meminjam istilah salah satu sahabat kami, beliau
pernah menulis, kritik itu obat, karena itu menyehatkan. Tetapi, kadang itu tak berlaku!
Hanya mudah diucapkan. Pujian itu penyakit, dapat membuat diabetes. Nabi saja
memerintahkan, orang yang memuji-muji itu, agar dilempar batu.
Mari kita
semakin membuka diri dan bersinergi dengan banyak pihak.
Dalam memimpin negara, daerah, organisasi, tentu kita banyak membutuhkan masukan dari
pihak lain, agar lembaga yang kita pimpin semakin tumbuh dan berkembang, maju
dan bermanfaat, dihormati dan layak dihargai.
Mari
adil dalam berfikir dan bertindak. Berfikir dan bertindak jangan parsial dan
terbolak balik, karena kritik
itu obat,
perbaikan itu keharusan.
*Tulisan ini dimuat diharian Lampung Post, Kamis 2/2/2017